Pages

Saturday, July 11, 2020

Candi Pari dan Candi Sumur di Sidoarjo


Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sekitar 2 km ke arah barat laut dari pusat Lumpur Lapindo. Candi Pari dibangun menghadap ke barat dengan panjang 13,55 m, lebar 13,40 m, tinggi 13,80 m, dan terbuat dari batu bata, dengan ambang batas dan gerbang dibuat oleh batu alam andesit, sementara ruang atas dan bawah dari pintu masuk candi menggunakan agregat.

Sekitar 50 meter dari Candi Pari terdapat Candi Sumur. Candi Pari sempat dipugar pada 1994-1999 oleh BP3 Jawa Timur.


Candi ini merupakan candi peninggalan Majapahit yang dibangun apda tahun 1293 Saka atau 1371 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di tahun 1350-1389. Candi Pari memiliki latar belakang agama Hindu, dimana terdapat relief Candi Pari Sankhadi, yang merupakan atribut dalam agama Hindu.


Candi Pari dipengaruhi oleh budaya Campa, yang dibangun untuk menghormati hilangnya Joko Pandelegan. Konon, zaman itu hidup seorang pertapa bernama Kyai Gede Penanggungan. Ia tinggal bersama sang adik, Nyai Ijingan yang sudah menjanda. Sang kyai berputri dua orang, diberi nama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin. Sedangkan Nyai Ijingan berputra seorang, Jaka Walang Tinunu.


Suatu ketika, Jaka Walang Tinunu memancing bersama dua sahabatnya, Satim dan Sabalong. Sekian lama menunggu kailnya disantap ikan, tiba-tiba muncul ikan Deleg. Tak disangka, ikan itu adalah jelmaan seorang manusia. Ikan Deleg itu pun menampakkan wujud aslinya, seorang pemuda tampan. Jaka Walang Tinunu pun takjub. Karena pemuda itu sangat ramah, keduanya pada akhirnya bersahabat.

Singkat cerita, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan bekerja sama membuka sawah di sekitar pertapaan Kyai Gede Penanggungan. Keduanya sangat ulet bekerja. Tiada waktu untuk berleha-leha. Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin kerap memperhatikan keduanya. Meski malu-malu, ternyata Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sama-sama menaruh hati.

Mengetahui hal ini, Kyai Gede Penanggungan berupaya mencegah ikatan cinta dua pasang pemuda dan pemudi itu. Sedangkan Jaka Walang Tinunu terlanjur jatuh hati pada Nyai Lara Walang Sangit. Demikian pula Jaka Pandelegan jatuh hati pada Nyai Lara Walang Angin. Apa daya, rasa cinta di antara mereka kian tumbuh subur. Kian dilarang, kian menguat. Hingga akhirnya dua pasang kekasih itu memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke pelaminan.

Kontan saja Kyai Gede Penanggungan tak merestui hal itu. Namun pernikahan tetap berjalan. Selepas menikah, mereka tetap giat bekerja. Alhasil, sawah yang digarap tumbuh subur. Panen pun melimpah. Berita hasil sawah yang melimpah ini sampai ke telinga Maharaja Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk. Saat itu masyarakat tengah susah. Para petani menghadapi paceklik.

Sang raja kemudian mengirim utusan kepada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Pesannya, agar hasil panen dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan tak keberatan. Mereka kemudian membagi-bagikan hasil panen ke warga lainnya.

Raja keempat Majapahit itu pun senang. Sebagai penghargaan, keduanya dipanggil ke istana. Tujuannya akan diangkat sebagai keluarga kerajaan. Sayang, permintaan itu ditolak. Berbagai bujuk rayu pun dilancarkan oleh raja. Keduanya tetap pada pendirian. Hingga akhirnya, sang raja turun sendiri mendatangi tempat tinggal Jaka Pandelegan. Tiada disangka, Jaka Pandelegan menghindar dan menghilang di lumbung padi miliknya. Sedangkan, Nyai Lara Walang Angin menghilang di sumur, dekat dengan lumbung. Ternyata keduanya memilih moksa. Keduanya hilang, musnah.

Melihat kenyataan itu, sang raja sedih. Namun di sisi lain kagum dengan keteguhan hati Jaka Pandelegan beserta istrinya. Oleh raja, kemudian diperintahkan membangun candi. Candi tempat menghilang Jaka Pandelegan kini dikenal bernama Candi Pari. Sementara tempat sang istri dikenal dengan nama Candi Sumur. Kedua candi ini dipercaya berpasangan. Candi Pari adalah lanang (laki-laki), sedangkan Candi Sumur wedok (perempuan).

Candi ini menyimpan peninggalan berupa arca-arca. Peninggalan kerajaan ini berupa 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesha. Ada juga 3 arca Budha yang juga ditemukan di sekitar area candi Kesemua arca peninggalan ini tidak ada di bangunan candi, namun disimpan di Museum Nasional Jakarta.


Sumber :
https://www.eastjava.com/east-java/tourism/sidoarjo/ina/pari-temple.html
https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/03/17/184235/legenda-di-balik-keberadaan-candi-pari-dan-sumur-di-sidoarjo
https://travelspromo.com/htm-wisata/candi-pari-sidoarjo/#:~:text=Peninggalan%20Sejarah%20Candi%20Pari,arca%20Agastya%2C%207%20arca%20Ganesha

No comments:

Post a Comment