Pages

Thursday, August 28, 2025

Jika Tidak Bisa Menaklukkan Langit, Maka Mintalah pada yang Membuat Langit

Ada banyak hal dalam hidup ini yang sering kali membuat kita merasa kecil, rapuh, bahkan tak berdaya. Seperti langit yang membentang luas, begitu tinggi dan tak tersentuh, begitu pula masalah dan cita-cita yang kita hadapi terkadang tampak mustahil untuk diraih. 

Kita berusaha mendaki, berlari, berjuang sekuat tenaga, namun tetap saja terasa seperti menghadapi sesuatu yang tak mungkin dikalahkan.

Kita ingin menaklukkan langit, tapi sering lupa bahwa langit bukan untuk ditaklukkan. Langit adalah simbol keterbatasan kita sebagai manusia. Ada batas yang tidak bisa kita lewati, ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, sekeras apa pun usaha kita. 

Dan pada titik itulah kita diingatkan: jika tak bisa menaklukkan langit, maka mintalah pada yang membuat langit.

Karena di balik langit yang biru, yang penuh bintang, yang kadang gelap atau memancarkan cahaya mentari, ada Sang Pencipta yang mengatur segalanya dengan keseimbangan yang sempurna. Tuhanlah yang menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. 

Ia yang memegang kunci dari segala sesuatu yang tampak mustahil di mata kita. Apa yang tidak bisa dijangkau oleh tangan manusia, bisa saja mudah digerakkan dengan izin-Nya.

Sering kali kita terjebak pada rasa ingin menguasai segalanya. Kita ingin semua berjalan sesuai keinginan kita: karier yang melesat cepat, rumah tangga yang sempurna, bisnis yang terus untung, tubuh yang selalu sehat, dan hidup yang mulus tanpa hambatan. 

Tapi hidup bukan seperti itu. 

Seperti langit yang luas, ia terlalu besar untuk digenggam manusia. Kita hanya bisa berjalan sejauh yang kita mampu, dan selebihnya kita serahkan pada-Nya.

Meminta pada yang membuat langit bukan berarti menyerah atau berhenti berusaha. Justru itu adalah bentuk kebijaksanaan. Kita berusaha semaksimal mungkin dengan segala daya, tetapi kita sadar ada kekuatan yang lebih besar daripada diri kita sendiri. 

Kita belajar untuk berdoa, bersandar, dan percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi—bahkan yang tidak sesuai harapan kita—tetap berada dalam kendali Tuhan.

Bayangkan seorang pelaut di tengah samudra. Ia tidak bisa mengatur arah angin, tidak bisa menahan gelombang, dan tentu saja tidak bisa menaklukkan luasnya lautan. Tetapi ia bisa mengatur layarnya, bisa berdoa agar angin membawanya ke arah yang tepat, dan bisa percaya bahwa di balik badai ada daratan yang menunggunya. 

Begitu pula kita dalam hidup: kita tidak bisa mengendalikan langit, tapi kita bisa meminta kepada yang menciptakan langit agar diberi jalan.

Maka, ketika langkahmu terasa buntu, ketika usahamu seperti berakhir di dinding yang tinggi, ketika doa-doamu seakan tak kunjung terjawab, jangan berhenti. 

Lihatlah ke langit. Ingatlah bahwa ada yang membuat langit, dan Ia selalu mendengar.

Sebab, jika tidak bisa menaklukkan langit, maka mintalah pada yang membuat langit. Dan di situlah kita menemukan arti pasrah, arti doa, dan arti percaya bahwa yang mustahil bagi manusia, tidak pernah mustahil bagi Tuhan.

Monday, August 25, 2025

Penulis dan Halaman Kosongnya

Bagi seorang penulis, halaman kosong sering kali menjadi ruang yang menakutkan sekaligus memikat. Ada yang menyebutnya sebagai writer’s block, ada pula yang melihatnya sebagai kebebasan mutlak. Apa pun namanya, halaman kosong adalah titik awal, ruang hampa yang menunggu untuk diisi dengan kata, ide, dan makna.

Seorang penulis berhadapan dengan halaman kosong tidak hanya sebagai tantangan teknis, tetapi juga sebagai cermin dirinya. Di balik layar putih atau kertas polos, tersimpan keraguan: apakah kata-kata yang ditulis nanti akan cukup berarti? 

Apakah cerita yang lahir dari jemarinya bisa menyentuh pembaca? 

Pertanyaan-pertanyaan itu menekan, membuat halaman kosong terasa seperti jurang yang tak berujung.

Namun justru di situlah keindahannya. Halaman kosong bukanlah musuh, melainkan sahabat yang setia menunggu. Ia tidak menuntut, tidak menghakimi, hanya memberi ruang. Seperti kanvas bagi pelukis, seperti panggung yang masih gelap bagi aktor. 

Halaman kosong memberi janji, bahwa apa pun yang dituliskan bisa menjadi sesuatu yang abadi.

Kadang, penulis mengisinya dengan coretan penuh gairah, menulis tanpa henti hingga halaman demi halaman terlampaui. Kadang pula, ia hanya menatap lama, sambil menimbang apakah kata pertama yang akan lahir sudah cukup kuat. Tapi yang paling penting adalah keberanian untuk memulai. Satu kata akan melahirkan kalimat. 

Satu kalimat akan memicu paragraf. Dan satu paragraf akan menuntun pada cerita utuh.

Penulis dan halaman kosongnya adalah dua sahabat yang saling membutuhkan. Tanpa penulis, halaman kosong tetaplah kosong. Dan tanpa halaman kosong, penulis kehilangan wadah untuk mengabadikan pikirannya. Justru dari kekosongan itu, lahirlah dunia-dunia baru yang tak terhitung jumlahnya.

Halaman kosong adalah simbol kesempatan. Kesempatan untuk bercerita, untuk berterus terang, untuk menyusun ulang ingatan, atau sekadar membiarkan diri bermimpi. Dan tugas penulis, sesederhana tapi juga serumit itu: berani menorehkan kata pertama, lalu terus berjalan di antara barisan kalimat yang mengikuti.

Wednesday, August 20, 2025

Bertanggung Jawab

Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) pasal 106 ayat 2, yang berbunyi: "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda". 

Selanjutnya pada ayat 4 juga dijelaskan, setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan. Di antaranya berupa rambu perintah dan larangan, marka jalan serta, alat pemberi insyarat lalu lintas dan aturan-aturan lainnya yang berlaku di jalan raya.

Jika pengendara motor yang tertabrak melakukan pelanggaran seperti menerobos lampu merah, maka pengendara lainnya (si penabrak) mungkin bisa dibebaskan dari tuntutan pidana atau kewajiban ganti rugi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban tidak berlaku apabila kejadian disebabkan oleh perilaku korban itu sendiri.

Kembali pada Pasal 234 angka (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang menyebutkan: Ketentuan untuk mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku jika:

  1. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi
  2. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga dan/atau
  3. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambi tindakan pencegahan

Dikarenakan adanya kesengajaan dari si pengendara motor untuk menerobos lampu merah padahal seyogyanya dia menaati rambu-rambu lalu lintas dan berhenti pada saat lampu merah maka pengemudi mobil dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, begitu pula dengan sebaliknya bila dikarenakan pengendara motor tersebut menerobos dan tertabrak oleh pengemudi mobil padahal pengemudi mobil sudah tepat yaitu jalan disaat lampu hijau maka ketentuan Pasal 234 angka (3) UU LLAJ dapat menjadi alasan bagi si pengendaran mobil untuk terhindar dari ganti kerugian kepada pengendara motor tersebut.

Jadi, jika yang ditabrak melanggar rambu, maka secara hukum dia bisa dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Pengemudi lainnya yang tertabrak memiliki peluang untuk dibebaskan dari tuntutan jika terbukti tidak lalai dan kecelakaan terjadi akibat kesalahan pihak pelanggar.


Sumber :

https://otomotif.kompas.com/read/2024/10/15/064200215/video-motor-tertabrak-karena-lewati-garis-lampu-merah-ini-sanksinya

https://www.kompasiana.com/aprilgsrynx/5ff720db8ede48324033c722/kecelakaan-lalu-lintas-benarkah-penabrak-selalu-salah


Saturday, August 9, 2025

Ganti Rem Belakang

Beberapa bulan lalu, saya sempat menulis tentang pengalaman mengganti rem cakram depan motor karena bunyi berdecit yang mengganggu. Setelah ganti, performa rem depan jadi pakem, bunyi hilang, dan berkendara pun terasa lebih nyaman. Tapi ternyata, cerita soal rem motor saya belum selesai.

Beberapa bulan berselang, saya mulai merasakan ada yang berbeda saat mengerem menggunakan rem belakang. Awalnya terasa kurang pakem, lalu muncul bunyi gesekan halus ketika pedal rem diinjak. Saya pikir mungkin hanya kotor atau terkena debu jalanan, tapi lama-lama bunyinya makin sering terdengar, bahkan saat motor berjalan pelan.

Saat dibawa ke bengkel, mekanik langsung memeriksa kampas rem belakang. Ternyata kampasnya sudah menipis, bahkan hampir habis. Wajar saja kalau performanya menurun. Mekanik menjelaskan, kampas rem belakang memang sering aus belakangan kalau rem depan sebelumnya sudah diganti. Alasannya sederhana: beban pengereman yang awalnya terbagi, menjadi lebih banyak ditanggung rem belakang ketika rem depan mulai kembali optimal.

Penggantian kampas rem belakang ini lebih cepat dibanding rem depan, karena sistemnya tromol, bukan cakram. Mekanik membersihkan bagian dalam tromol dari debu dan sisa kampas lama, lalu memasang kampas baru. Setelah itu, disesuaikan setelan rem supaya tidak terlalu keras atau longgar.

Hasilnya langsung terasa. Rem belakang jadi lebih responsif, tidak ada lagi bunyi gesekan, dan pengereman terasa lebih seimbang. Pelajaran yang saya ambil adalah pentingnya mengecek kedua rem secara berkala, bukan hanya saat terasa bermasalah. Karena kalau salah satu sudah diganti, besar kemungkinan yang satunya menyusul dalam beberapa bulan.