Sunday, August 17, 2025

Kepercayaan sebagai Pondasi Pernikahan

Bubarnya Pernikahan: Ketika Kepercayaan yang Menjadi Pondasi, Pelan-Pelan Hilang

Tidak ada rumah yang bisa berdiri tanpa pondasi. Ia mungkin indah dari luar, megah, penuh dekorasi mahal—tetapi tanpa fondasi yang kuat, rumah itu cepat atau lambat akan retak dan runtuh. Begitu pula pernikahan. Banyak pasangan mengira cinta adalah segalanya, padahal yang paling menentukan bukan hanya cinta, melainkan kepercayaan.

Ketika pernikahan bubar, orang sering menyalahkan banyak faktor: ekonomi, komunikasi, sikap pasangan, atau perbedaan karakter. Namun jika ditarik ke akarnya, penyebab terbesar biasanya hanya satu: kehilangan kepercayaan.

Kepercayaan bukan hadiah yang datang otomatis setelah ucapan “sah”. Ia harus dibangun pelan-pelan, dijaga setiap hari, dirawat lewat kejujuran, konsistensi, dan rasa aman yang diberikan satu sama lain. Tanpa kepercayaan, setiap perjalanan rumah tangga menjadi seperti berjalan di atas tanah rapuh—selalu takut ambles.

Tidak percaya berarti:

  • setiap pulang terlambat menjadi kecurigaan,
  • setiap pesan di ponsel menjadi ancaman,
  • setiap kesalahan kecil menjadi bukti bahwa pasangan tidak bisa diandalkan,
  • setiap perubahan sikap dianggap pertanda buruk.

Rumah tangga pun berubah dari tempat pulang menjadi ruang interogasi.

Kepercayaan tidak langsung hilang dalam sehari. Ia retak perlahan:

  • dimulai dari kebohongan kecil yang dianggap tidak apa-apa,
  • diikuti janji yang sering dilanggar,
  • disusul sikap defensif atau saling menyembunyikan sesuatu,
  • hingga akhirnya muncul jarak emosional yang makin lebar.

Luka-luka kecil itu lama-lama menjadi jurang. Dan ketika jurang sudah cukup dalam, kadang tidak ada jembatan yang bisa mempertemukan dua hati lagi. Cinta membutuhkan tempat yang aman untuk tumbuh. Jika hati selalu dihantui ketakutan—takut dikhianati, takut dibohongi, takut tidak dihargai—maka cinta pun perlahan kehilangan nyawanya.

Seseorang yang tidak merasa aman di rumahnya sendiri akan mencari “tempat bernafas” di luar. Bukan karena ia ingin, tetapi karena ia lelah hidup dalam tekanan curiga dan konflik yang tak berakhir. Tidak jarang, pasangan yang sebenarnya masih saling mencintai justru terpaksa berpisah karena tidak lagi mampu memperbaiki rasa percaya yang hilang.

Banyak orang mempertahankan pernikahan meski isinya saling melukai. Namun ada pula yang akhirnya memilih bubar karena menyadari satu hal: jika kepercayaan tidak bisa dipulihkan, maka pernikahan hanya akan menjadi arena saling menyakiti.

Berpisah mungkin menyakitkan, tetapi kadang lebih baik daripada tinggal bersama sambil membunuh diri sendiri perlahan. Kadang berpisah bukan berarti tidak cinta—tetapi memilih untuk menghentikan luka yang semakin dalam.

Membangun kepercayaan membutuhkan waktu panjang, tetapi merusaknya hanya butuh satu kejadian. Dan ketika ia hancur, tidak ada kata-kata manis yang bisa mengembalikannya begitu saja. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan pertanyaan “andai dulu…”.

Namun meski menyakitkan, bubarnya pernikahan karena hilangnya kepercayaan selalu mengajarkan sesuatu:

  • bahwa kejujuran adalah mata uang paling berharga dalam hubungan,
  • bahwa komunikasi yang jujur lebih penting dari gestur romantis,
  • bahwa cinta tanpa rasa aman hanya akan menyiksa,
  • dan bahwa pondasi yang rapuh takkan bisa menopang kehidupan bersama.

Tidak semua cerita berakhir bahagia, tetapi setiap akhir selalu membawa pelajaran. Bubarnya pernikahan bukan akhir dari hidup—hanya akhir dari bab yang tidak lagi sehat. Dan mungkin, dengan hati yang lebih dewasa, kita akhirnya paham:

Pernikahan bisa bertahan tanpa banyak hal… tapi tidak tanpa kepercayaan.

No comments:

Post a Comment

Related Posts