Sunday, December 14, 2025

Memilih Solusi Hidup : Permen, Obat, dan Jamu

Bayangkan seorang anak kecil yang sedang menangis karena sakit. Tangisnya keras, penuh ketakutan, dan ia hanya ingin rasa tidak enak itu segera hilang. Di hadapannya ada tiga pilihan. Yang pertama, kita memberinya permen. Tangisnya mungkin berhenti sejenak, wajahnya kembali cerah, dan perhatian beralih dari rasa sakit ke rasa manis. Namun sakitnya tetap ada, hanya tertutupi sesaat. Begitu rasa manis itu hilang, tangisan akan kembali, bahkan bisa lebih keras.

Pilihan kedua, kita memberinya obat. Anak itu mungkin menolak, menangis lebih kencang karena rasanya pahit, tetapi perlahan tubuhnya mulai membaik. Obat tidak memberi kenyamanan instan, tetapi bekerja pada sumber sakitnya. Ia membutuhkan waktu, aturan minum, dan kesabaran, baik dari anak itu maupun dari orang yang merawatnya.

Pilihan ketiga adalah jamu. Rasanya paling pahit, baunya tidak familiar, dan hampir pasti ditolak di awal. Namun jamu tidak hanya meredakan sakit, ia menguatkan tubuh anak itu dari dalam. Ia tidak sekadar menyembuhkan hari ini, tetapi membantu tubuhnya lebih siap menghadapi sakit di kemudian hari.

Dalam hidup, kita sering mencari solusi yang paling cepat membuat perasaan membaik. Kita ingin jawaban yang instan, hasil yang segera terlihat, dan rasa nyaman yang bisa langsung dirasakan. Tanpa sadar, cara kita menyelesaikan masalah hidup tidak jauh berbeda dengan pilihan kita saat ingin meredakan rasa tidak enak di tubuh: apakah kita memilih permen, obat, atau jamu.

Permen adalah solusi yang paling menyenangkan. Rasanya manis, mudah didapat, dan langsung memberi rasa lega. Dalam hidup, permen adalah pelarian-pelarian kecil yang kita gunakan untuk menenangkan diri sementara: hiburan berlebihan, validasi dari media sosial, belanja impulsif, atau menyalahkan keadaan agar hati terasa ringan sesaat. 

Permen tidak salah, bahkan kadang diperlukan. Tetapi jika terus-menerus mengandalkannya, masalah tidak pernah benar-benar selesai. Rasa manis itu cepat hilang, dan sering kali meninggalkan ketergantungan.

Obat berada satu tingkat di atas permen. Ia pahit di awal, tetapi dirancang untuk menyembuhkan. Dalam kehidupan, obat adalah solusi rasional dan terstruktur: belajar dari kesalahan, memperbaiki kebiasaan, mencari bantuan, berdiskusi, dan mengambil keputusan sulit. 

Obat tidak selalu nyaman, bahkan sering membuat kita harus menghadapi kenyataan yang tidak kita sukai. Namun, ia bekerja pada sumber masalah, bukan sekadar gejalanya. Obat menuntut disiplin dan konsistensi, bukan sekadar keinginan untuk merasa baik hari ini.

Lalu ada jamu. Ia paling pahit, paling tidak populer, dan sering dihindari. Tetapi jamu bekerja jauh lebih dalam dan lebih lama. Dalam hidup, jamu adalah penerimaan, kesabaran, dan proses pendewasaan diri. Ia adalah doa yang terus dipanjatkan meski belum dijawab, ikhlas pada hal-hal yang tidak bisa diubah, dan bertahan ketika hasil belum terlihat. 

Jamu tidak menjanjikan kesembuhan cepat, tetapi membangun daya tahan dari dalam. Ia menguatkan, bukan hanya menyembuhkan.

Masalahnya, banyak dari kita ingin hidup diselesaikan hanya dengan permen. Kita ingin bahagia tanpa berproses, tenang tanpa menghadapi, dan sembuh tanpa luka. Padahal, hidup yang matang justru lahir dari keberanian menelan obat dan kesediaan meminum jamu, meski rasanya tidak enak. Permen boleh sesekali, tetapi tidak bisa dijadikan fondasi.

Hidup tidak selalu butuh solusi yang manis. Kadang ia butuh kejujuran yang pahit, disiplin yang melelahkan, dan kesabaran yang panjang. Dan seiring waktu, kita akan mengerti bahwa rasa pahit itu tidak datang untuk menyiksa, melainkan untuk menguatkan.

Namun ingat, bahwa terkadang orang terlalu sibuk mencari jalan keluar, harusnya kita lebih mencari jalan kedalam untuk mengetahui siapa diri kita, dan mau kemana

Pada akhirnya, solusi hidup bukan tentang memilih yang paling enak, tetapi memilih yang paling menyembuhkan. Karena hidup yang benar-benar sehat bukan hidup yang selalu terasa manis, melainkan hidup yang mampu bertahan, pulih, dan tumbuh meski harus melalui rasa pahit terlebih dahulu.

Begitulah hidup bekerja pada kita. Ketika kita sedang “menangis” karena masalah, kecewa, atau lelah, kita sering meminta solusi yang paling cepat menghentikan rasa sakit. Kita ingin permen, bukan obat, apalagi jamu. Padahal, tidak semua tangisan butuh dimanjakan—sebagian justru butuh keberanian untuk menjalani proses penyembuhan yang tidak nyaman.

Dari sinilah kita mulai memahami bahwa solusi hidup tidak selalu tentang membuat hati segera tenang, tetapi tentang membuat diri benar-benar pulih.

Sunday, December 7, 2025

Kembali ke Jawa

Di tengah arus modernitas yang kian deras, manusia sering merasa semakin cepat namun semakin kosong; semakin terhubung namun semakin jauh dari kesejatian diri. Muncul satu pesan batin yang seolah berbisik lembut: sudah saatnya kita kembali ke Jawa. 

Bukan dalam arti sekadar kembali ke tanah kelahiran, namun kembali kepada filsafat Jawa sebagai warisan local wisdom yang mengajarkan kedalaman hati, ketenangan pikir, dan keseimbangan hidup.

Filosofi Jawa bukan sekadar tradisi masa lalu, tetapi cermin kearifan yang membimbing manusia untuk hidup selaras dalam tiga dimensi: dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri. Nilainya tercermin dalam prinsip eling lan waspada—senantiasa ingat kepada Yang Maha Kuasa dan waspada akan hawa nafsu dan sikap diri. 

Ada pula ajaran rukun agawe santosa yang menekankan pentingnya menjaga harmoni sosial, dan tepo seliro yang mengajarkan empati, tenggang rasa, dan kemampuan menempatkan diri. Kearifan ini membentuk karakter yang lembut namun tegas, rendah hati tanpa merendahkan diri, dan kuat tanpa harus menjatuhkan orang lain.

Di saat dunia mendorong kecepatan, filosofi Jawa mengingatkan pentingnya pitutur, yaitu jeda untuk merenung sebelum melangkah. 

Di saat dunia mendorong gengsi dan pamer, filosofi Jawa mengajarkan alon-alon waton kelakon—pelan bukan berarti lemah, tetapi memastikan setiap langkah membawa berkah. 

Dan di saat dunia mengagungkan popularitas, filosofi Jawa mengingatkan untuk tetap andhap asor—menjadi besar tanpa merasa ingin terlihat besar. Local wisdom Jawa bukan untuk membatasi kemajuan, tetapi untuk memastikan kemajuan itu tidak menyebabkan kita kehilangan kemanusiaan.

Kembali ke Jawa bukan berarti menolak perubahan. Dunia akan terus bergerak maju, dan kita harus ikut bergerak bersamanya. Namun, saat kita berjalan ke depan, kita perlu membawa akar yang menjaga jati diri. 

Itulah makna sejati dari kembali ke Jawa: kembali ke nilai-nilai yang membuat kita lebih manusiawi, lebih tenang, lebih bijak, dan lebih menghargai kehidupan. Di tengah modernitas yang serba instan, local wisdom Jawa menjadi jangkar spiritual dan moral agar kita tidak hanyut oleh zaman.

Pada akhirnya, kembali ke Jawa adalah ajakan untuk menata batin sebelum menata kehidupan; untuk memperbaiki diri sebelum memperbaiki dunia. Sebab sebagaimana pitutur para leluhur:

Ngelmu kuwi kelakone kanthi laku — pengetahuan hanya bermakna bila diwujudkan dalam perbuatan.

Semoga kita tidak sekadar menjadi orang Jawa secara identitas, tetapi juga secara kearifan. Karena ketika dunia semakin gaduh, rumah terbaik untuk kembali adalah hikmah yang menenangkan jiwa.

Related Posts