Saturday, September 20, 2025

Tetirah

Dalam kehidupan yang kian padat dengan tuntutan, sering kali manusia terjebak dalam arus kesibukan yang tak berujung. Pekerjaan, target, kewajiban sosial, bahkan tekanan dari diri sendiri membuat langkah terasa berat, pikiran penuh sesak, dan hati kian lelah. 

Di titik inilah, tetirah—sebuah kata Jawa yang berarti berhenti sejenak untuk beristirahat dan memulihkan diri—menjadi relevan dan penting. 

Tetirah bukan sekadar liburan, melainkan sebuah jeda yang disadari, di mana seseorang sengaja melepaskan diri dari rutinitas harian, kembali pada keheningan, dan menyelami ulang makna hidup. Dalam tetirah, jiwa yang penat diberi ruang untuk bernapas, tubuh yang lelah diberi kesempatan untuk pulih, dan pikiran yang kusut diluruskan dengan keheningan. 

Saat seseorang melakukan tetirah, ia sesungguhnya sedang merawat dirinya sendiri, seperti seorang petani yang memberi waktu bagi tanah untuk kembali subur setelah lelah ditanami. Dari tetirah, lahirlah energi baru, kejernihan pikiran, dan semangat untuk kembali menempuh perjalanan. 

Manusia bukan mesin yang bisa bekerja tanpa henti. Ia adalah makhluk dengan hati, rasa, dan batin yang juga membutuhkan kehangatan jeda. Dan dalam jeda itulah, kita menemukan kembali siapa diri kita sebenarnya.

Dalam jeda, kita menemukan kesadaran bahwa hidup bukan semata tentang mengejar, tetapi juga tentang merasakan; bukan hanya tentang berlari, tetapi juga tentang berhenti dengan penuh makna. Kesadaran itu tumbuh ketika kita memahami bahwa diri ini bukan ditentukan oleh pencapaian semata, melainkan oleh sejauh mana kita mengenali diri kita sendiri. 

Dari jeda lahirlah pengertian, dari pengertian lahirlah penerimaan, dan dari penerimaan itulah tumbuh keberanian untuk melangkah kembali dengan tenang. Maka, jeda bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang halus—sebuah momen ketika manusia menemukan kembali siapa dirinya sebenarnya, dan itulah inti dari kesadaran sejati.

No comments:

Post a Comment

Related Posts