Wednesday, April 30, 2025

Jejak Luka Menuju Cahaya

Ketika kehilangan datang tiba-tiba, seperti bayangan yang menyapu cahaya, aku terpaksa belajar menerima kekosongan yang tak bisa diisi. Awalnya, aku menolak kenyataan, memaksa diri untuk tetap sibuk, seolah jika cukup sibuk, luka itu tak sempat terasa. 

Tapi di tengah malam yang sunyi, akhirnya suara batin yang tertahan pecah juga. Cukup penting untuk Memahami Proses Emosional dalam Kehilangan.

Perlahan, aku mulai memahami bahwa duka bukan untuk dilawan, melainkan untuk dirasakan, dalam setiap detiknya yang berat, dalam setiap kenangannya yang menyesakkan. Proses emosional dalam kehilangan mengajarkanku bahwa sembuh bukan berarti lupa, tapi berdamai dengan kenyataan bahwa cinta yang tulus tetap tinggal, bahkan saat sosoknya telah pergi.

Setelah memahami luka itu, aku mulai menerima bahwa kehilangan tak hanya tentang orang yang pergi, tapi juga tentang bagian diriku yang ikut runtuh bersamanya. Aku tak bisa memperbaiki masa lalu, tapi aku bisa memperbaiki sikapku hari ini, memaafkan diri sendiri atas suara batin yang terlalu lama, memberi ruang untuk tumbuh dari kesalahan, dan belajar mencintai hidup yang tak sempurna. 

Segera aku Terima dan Perbaiki.

Dengan hati yang perlahan mengeras oleh kenyataan namun tetap hangat oleh harapan, aku melangkah lagi. Tak sempurna, tapi lebih jujur. Tak utuh, tapi lebih siap. Terima bukan berarti menyerah; perbaiki bukan berarti menghapus. Keduanya adalah cara untuk terus hidup dengan lebih bermakna.

Setelah semua suara batin dan perbaikan yang kulakukan, aku sadar satu hal: selama ini aku terlalu sibuk mencari jalan keluar, melarikan diri ke pekerjaan, hiburan, bahkan nasihat orang lain, seolah semua jawaban ada di luar sana. Padahal, yang paling kuabaikan justru diriku sendiri. 

Aku bertanya, Mengapa Kita Terlalu Sibuk Mencari Jalan Keluar? Bahwasanya solusi itu ada di dalam, maka seyogyanya kita mencari jalan ke dalam. 

Aku tak pernah benar-benar duduk diam, menanyakan dengan jujur: apa yang sebenarnya aku rasakan? 

Apa yang aku butuhkan? 

Dan sejak aku berani menempuh jalan ke dalam, menyapa luka dan bercakap dengan diri sendiri, di sanalah aku menemukan kekuatan yang lebih jernih. Bukan pelarian, tapi pemahaman. Bukan solusi instan, tapi keutuhan yang tumbuh perlahan. Jalan keluar seringkali menyesatkan bila hati belum pulang.

Ketika aku mulai berdamai dengan diriku sendiri, pandanganku tentang keluarga pun ikut berubah. Dulu aku mengira keluarga harusnya tempat yang sempurna, hangat, saling mengerti, tanpa luka. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa justru karena keluarga tidak sempurna, ia menjadi ladang perjuangan yang paling mulia. 

Ada ego yang harus diredam, luka yang harus dimaafkan, dan jarak yang harus dijembatani. Dalam segala ketidaksempurnaan itu, aku melihat cinta dalam bentuknya yang paling jujur, yang tetap tinggal meski sering ingin pergi. Maka aku memilih bertahan, bukan karena keluarga selalu benar, tapi karena mereka selalu layak untuk diperjuangkan.

Iya benar, bahwa sekali lagi Keluarga Bukan Sesuatu yang Sempurna, Tapi Sesuatu yang Layak Diperjuangkan.

Setelah melalui badai emosi, pergolakan batin, dan perjuangan menjaga keluarga yang hampir runtuh, aku mulai melihat secercah cahaya yang tak kusangka datang. Justru ketika aku merasa tak punya apa-apa lagi selain doa dan keteguhan hati, Allah menghadirkan rezeki demi rezeki, tak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan, kesempatan, dan orang-orang yang mendukung langkahku. 

Sesuatu yang lama kami tunggu akhirnya datang, kesehatan keluarga mulai membaik, dan bahkan ide-ide kecil yang dulu kuanggap sepele kini menjadi sumber kehidupan baru. Di titik inilah aku sadar, bahwa setelah kesulitan selalu ada kemudahan, dan setelah kepedihan selalu ada kasih sayang-Nya yang tak terduga.

Hal ini sudah terpahat di kita suci Al-Quran sebagai Janji di Balik Ujian yang menyatakan bahwa "sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan" yang terdapat dalam Surah Al-Insyirah (Surah ke-94) ayat 5 dan 6. Ayat tersebut berbunyi: 

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5)

Fa inna ma'al-'usri yusra(n)

"Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan" 

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

Inna ma'al-'usri yusra(n)

"Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan" 

Ayat ini menegaskan bahwa di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan yang menyertainya. Ayat ini menjadi motivasi dan penghibur bagi umat Muslim yang sedang menghadapi cobaan dan tantangan dalam hidup. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts