Di tengah arus modernitas yang kian deras, manusia sering merasa semakin cepat namun semakin kosong; semakin terhubung namun semakin jauh dari kesejatian diri. Muncul satu pesan batin yang seolah berbisik lembut: sudah saatnya kita kembali ke Jawa.
Bukan dalam arti sekadar kembali ke tanah kelahiran, namun kembali kepada filsafat Jawa sebagai warisan local wisdom yang mengajarkan kedalaman hati, ketenangan pikir, dan keseimbangan hidup.
Filosofi Jawa bukan sekadar tradisi masa lalu, tetapi cermin kearifan yang membimbing manusia untuk hidup selaras dalam tiga dimensi: dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri. Nilainya tercermin dalam prinsip eling lan waspada—senantiasa ingat kepada Yang Maha Kuasa dan waspada akan hawa nafsu dan sikap diri.
Ada pula ajaran rukun agawe santosa yang menekankan pentingnya menjaga harmoni sosial, dan tepo seliro yang mengajarkan empati, tenggang rasa, dan kemampuan menempatkan diri. Kearifan ini membentuk karakter yang lembut namun tegas, rendah hati tanpa merendahkan diri, dan kuat tanpa harus menjatuhkan orang lain.
Di saat dunia mendorong kecepatan, filosofi Jawa mengingatkan pentingnya pitutur, yaitu jeda untuk merenung sebelum melangkah.
Di saat dunia mendorong gengsi dan pamer, filosofi Jawa mengajarkan alon-alon waton kelakon—pelan bukan berarti lemah, tetapi memastikan setiap langkah membawa berkah.
Dan di saat dunia mengagungkan popularitas, filosofi Jawa mengingatkan untuk tetap andhap asor—menjadi besar tanpa merasa ingin terlihat besar. Local wisdom Jawa bukan untuk membatasi kemajuan, tetapi untuk memastikan kemajuan itu tidak menyebabkan kita kehilangan kemanusiaan.
Kembali ke Jawa bukan berarti menolak perubahan. Dunia akan terus bergerak maju, dan kita harus ikut bergerak bersamanya. Namun, saat kita berjalan ke depan, kita perlu membawa akar yang menjaga jati diri.
Itulah makna sejati dari kembali ke Jawa: kembali ke nilai-nilai yang membuat kita lebih manusiawi, lebih tenang, lebih bijak, dan lebih menghargai kehidupan. Di tengah modernitas yang serba instan, local wisdom Jawa menjadi jangkar spiritual dan moral agar kita tidak hanyut oleh zaman.
Pada akhirnya, kembali ke Jawa adalah ajakan untuk menata batin sebelum menata kehidupan; untuk memperbaiki diri sebelum memperbaiki dunia. Sebab sebagaimana pitutur para leluhur:
Ngelmu kuwi kelakone kanthi laku — pengetahuan hanya bermakna bila diwujudkan dalam perbuatan.
Semoga kita tidak sekadar menjadi orang Jawa secara identitas, tetapi juga secara kearifan. Karena ketika dunia semakin gaduh, rumah terbaik untuk kembali adalah hikmah yang menenangkan jiwa.
