Tuesday, November 4, 2025

Selalu Ingat Janji Agung Kepada Tuhan Saat Akad Nikah

Di antara banyak momen sakral dalam hidup, akad nikah adalah salah satu yang paling agung. Pada detik itu, bukan hanya dua manusia yang saling berjanji, tetapi dua jiwa yang bersaksi di hadapan Tuhan bahwa mereka siap memikul amanah sebuah ikatan yang suci. Janji di momen itu bukanlah sekadar formalitas, bukan sekadar rangkaian kata-kata tradisi—melainkan komitmen spiritual yang kelak menjadi pondasi perjalanan rumah tangga.

Namun, seiring berjalannya waktu, banyak pasangan yang tanpa sadar mulai lupa pada janji yang dahulu diucapkan dengan penuh harap dan ketulusan. Hidup berubah, tantangan datang, dan terkadang ego mengambil alih. Padahal justru pada saat-saat sulit itulah, mengingat kembali janji agung kepada Tuhan adalah kunci untuk tetap bertahan dan saling menguatkan.

Dalam akad, seorang laki-laki berjanji kepada Tuhan untuk menjaga, membimbing, dan menafkahi perempuan yang ia pilih. Sementara seorang perempuan berjanji untuk setia, menghormati, dan mendampingi suaminya dalam suka maupun duka. Janji itu bukan hanya kepada manusia yang berdiri di hadapannya, tetapi pada Sang Maha Mengetahui seluruh isi hati.

Hal inilah yang dapat menjadi tiang dan tonggak untuk setia, selain juga dengan memupuk kepercayaan dalam sebuah pernikahan.

Ketika sebuah pernikahan menghadapi badai, mengingat kembali bahwa ikatan ini disaksikan oleh Tuhan dapat menjadi pengingat bahwa hubungan ini bukan main-main, bukan hubungan yang boleh dilepas begitu saja hanya karena emosi sesaat.

Pertengkaran adalah bagian dari pernikahan. Namun yang membuatnya berbahaya adalah ketika amarah lebih dipilih daripada akal sehat, atau ketika ego lebih besar daripada cinta yang dulu menyatukan. Di titik seperti itu, mengingat akad adalah rem yang menyadarkan bahwa semua yang terjadi tidak boleh melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Sebelum meninggikan suara, ingat janji.

Sebelum menuduh, ingat akad.

Sebel sebelum menyerah, ingat siapa yang menyatukan.

Janji akad bukan sekadar pengingat kewajiban, tetapi juga pengingat tentang cinta yang murni di awal perjalanan.

Sering kali orang salah paham, mengira bahwa menikah berarti menahan segala rasa tidak enak demi "kewajiban". Padahal esensi pernikahan bukan memaksa diri bertahan dalam luka, melainkan menyadari bahwa kita bertanggung jawab untuk memperbaiki, memperjuangkan, dan mengusahakan kebaikan bersama.

Janji akad adalah komitmen untuk berusaha—bukan komitmen untuk menderita.

Ia adalah pintu menuju keberkahan—bukan jerat untuk menahan kebebasan.

Untuk menjaga pernikahan tetap kuat, janji akad harus dihidupkan setiap hari melalui hal-hal kecil:

dengan saling menghargai, saling mendengar, saling menguatkan, dan saling menenangkan.

Sebab yang paling sering menghancurkan rumah tangga bukan badai besar, tetapi retakan kecil yang dibiarkan tanpa diperbaiki.

Menghidupkan janji adalah menghidupkan cinta.

Menghidupkan cinta adalah menghidupkan keberkahan.

Ketika sepasang manusia mengucap akad, mereka tidak hanya memilih satu sama lain—mereka juga memilih jalan hidup yang dijaga oleh Tuhan. Karena itu, ketika masalah datang, kenanglah kembali janji itu. Bukan untuk merasa terpaksa, tetapi untuk merasa terarah. Bukan untuk merasa terbebani, tetapi untuk merasa dituntun.

Sebab pada akhirnya, pernikahan yang kokoh bukan milik mereka yang tidak pernah bertengkar, tetapi milik mereka yang selalu ingat siapa yang menjadi saksi saat mereka saling menerima dalam sebuah janji agung.

No comments:

Post a Comment

Related Posts