Saturday, June 5, 2021

Economic Bubble

Negara Belanda selain memiliki julukan Negeri Kincir Angin, juga memiliki julukan Negara Bunga Tulip. Secara sejarah, bunga tulip yang menjadi bunga kebanggan Belanda bahkan menjadi lambang negara Belanda bukanlah bunga asli dari sana.

Belanda mengembangkan jenis tulip-tulip baru pada masa kerajaan Romawi. Semula bunga tulip berasal dari Turki atau Persia. Lalu diperkenalkan di dataran Eropa ketika berkunjung ke Vienna Kerajaan Ottoman memberikan bunga tulip kepada kekaisaran Romawi melalui Duta besarnya yang bernama Oiger de Busbecq pada tahun 1554. 

Singkat cerita bunga tulip menjadi barang mewah dan banyak dicari oleh kaum bangsawan. Banyak para pedagang yang ingin mendapatkan umbi dan bibit tersebut menjadikan tulip mempunyai harga yang tinggi. Bunga tulip juga dapat dibudidayakan dari biji-bijiannya sendiri namun membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Bunga tulip pun berkembang tak ubahnya perdagangan berjangka komoditas dewasa atau futures market. Banyak oang-orang yang bahkan menggadaikan harta atau bahkan rumahnya untuk dapat bertransaksi membeli bulb tulip, dengan harapan nantinya dijual dengan harga lebih tinggi lagi. 

Bahkan perdagangan bunga tulip dalam satu hari bisa sampai sepuluh kali. Konon para pedagang bisa meraih keuntungan hingga 400%. Sehingga bisa kita tarik kesimpulan bahwa kegilaan orang-orang pada bunga tulip bukan lagi karena pesona keindahannya, tapi godaan untuk menjadi kaya. 

Pada bulan Januari 1637 terjadi crash dan pecahnya bubble economy yang diakibatkan bunga tulip. Akibat pembelian dalam jumlah besar menyebabkan kelebihan supply dan pedagang pun banyak yang rugi. Penjualan bunga tulip pun berhenti dan mengakibatkan nilai jual tulip semakin menurun.


Mari kita bergeser dari abad ke-16 ke tahun 2000-an. Bergerak dari Dutch Tulip Bulb Market Bubble ke Dot-com Bubble.

Dot-com Bubble atau gelembung dot-com adalah gelembung teknologi informasi atau gelembung spekulasi yang terjadi antara tahun 1998–2000 saat NASDAQ mencapai 5132,52 poin, yaitu ketika bursa saham di negara-negara industri mengalami kenaikan nilai ekuitas secara tajam berkat pertumbuhan industri sektor Internet dan bidang-bidang yang terkait. 

Pesatnya pertumbuhan Internet dimulai pada tahun 1993 dan berlangsung hingga tahun 1990-an yang ditandai dengan teknologi world wide web yang semakin maju setelah dirilisnya versi pertama penjelajah web Mosaic.

Periode gelembung dot-com ditandai oleh didirikannya (dan berakhir dengan kegagalan usaha) perusahaan-perusahaan baru di bidang situs-situs Internet yang disebut perusahaan dot-com. Pemilik perusahaan mengalami kenaikan tajam pada harga saham dengan hanya menambah awalan e- atau akhiran .com pada nama perusahaan mereka. Praktik ini disebut salah seorang penulis sebagai investasi prefiks.

Kombinasi dari meningkatnya harga saham secara cepat dan kepercayaan pasar bahwa perusahaan-perusahaan tersebut akan untung pada masa depan, spekulasi saham oleh individu, dan modal ventura yang dapat diperoleh secara mudah membuat investor melupakan indikator tradisional seperti Rasio P/E, dan lebih percaya terhadap kemajuan teknologi.


Berikutnya kita juga melihat economic bubble yaitu gelembung ekonomi yang terjadi ketika harga aset naik secara cepat hingga harganya tidak masuk akal lainnya, yaitu misalnya:

  • Ikan louhan (tahun 2000-an), peminat ikan louhan meningkat tajam hingga membuat harganya mencapai jutaan rupiah. Saat ini, ikan louhan harganya hanya puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah saja.
  • Anthurium (tahun 2007), saat sedang populer, harganya menjadi jauh lebih mahal dari seharusnya. Padahal, tanaman ini juga bukan tanaman langka yang layak dihargai begitu mahal.
  • Batu akik (tahun 2014), batu akik seharusnya tidak begitu mahal, namun saat itu dijual hingga jutaan rupiah. Saat ini setelah tidak lagi begitu diminati, harganya kini tak lebih dari ratusan ribu rupiah.
  • Tanaman janda bolong (tahun 2020), yang tercatat bahkan tanaman janda bolong mencapai harga 15 juta rupiah per daun.

Fenomena gelembung ekonomi atau bubble economy sebaiknya kita sikapi dengan bijak. Karena harga suatu barang jauh dari nilai intrinsiknya. Ada kemungkinan hal tersebut terjadi karenaada permainan antar pedagang tanaman hias atau kartel yang menggoreng harga sehingga bisa ratusan juta rupiah.

Ditambah lagi saat permintaan yang meningkat disertai kelangkaan komoditas produk. Dan saat permintaan meningkat, harganya pasti ikut naik.

Fenomena bisnis ini juag bisa digolongkan sebagai "business monkey" yang berpotensi merugikan orang lain (konsumen), meskipun dari sisi lain juga menguntungkan bagi kelompok orang tertentu (penjual) karena tingginya harga yang ditetapkan.


Saat ini yang berpeluang pecah sebagai bubble economy adalah cryptocurrency, misalnya seperti Bitcoin. Cryptocurrency atau mata uang crypto telah menjadi properti futuristik dan perilaku harga yang ekstrem telah menarik liputan media secara masif, serta perhatian dari berbagai pakar dan peneliti keuangan.

Cryptocurrency mengalami kenaikan dan penurunan harga yang drastis sehingga menjadikan cryptocurrency memiliki harga yang tidak stabil dan dipercaya akan mengalami ‘bubble' dan sewaktu-waktu akan pecah. Runtuhnya nilai spekulatif cryptocurrency telah diteliti dan diprediksi oleh banyak ahli di bidang ekonomi dan keuangan.

  • Januari hingga Februari 2018, harga Bitcoin turun sebanyak 65%. 
  • September 2018, MVIS CryptoCompare Digital Assets 10 Index telah kehilangan 80% nilainya.
  • November 2018, total kapitalisasi pasar untuk Bitcoin turun di bawah US $100 miliar.
  • Desember 2018, Bitcoin mencapai titik terendahnya di angka US $3.100.
  • Maret 2020, harga Bitcoin turun 30 persen dari US$8.901 menjadi US$6.206. 
  • Oktober 2020, Bitcoin berada di angka sekitar US$13.200.
  • November 2020, Bitcoin kembali melampaui level tertinggi sebelumnya sepanjang masa di atas US$19.000. 
  • 3 Januari 2021, Bitcoin mengalami lonjakan pada US$34.792,47
  • Keesokan harinya, Bitcoin jatuh sebanyak 17%. 
  • 8 Januari 2021, Bitcoin diperdagangkan di atas US$40.000
  • 16 Februari 2021, Bitcoin mencapai US$50.000
  • 19 Mei 2021, harga Bitcoin jatuh menjadi US$36.900.

Nilai bitcoin (BTC) secara khusus dan nilai crypto secara umum sedang crash ini ditandai dengan penurunan sebanyak 25% dalam curva tajam secara tiba-tiba. Banyak orang percaya bahwa Bitcoin telah mengalami pasar bullish yang koheren lalu mencapai puncaknya.

Dan saat ini berada dalam periode bearish. Hal ini juga menunjukkan bahwa kekhawatiran para investor sedang bergeser, terjadi kekhawatiran yang melanda dunia keuangan. Apakah itu dikarenakan Covid-19, atau karena pasar obligasi oleh Federal Reserve, atau pun inflasi yang terjadi.


Akhirnya, pada kenyataannya bahwa sejarah ini terus berulang. Manusia memang gemar bertaruh pada keberuntungan. Peramalan dan perjudian menjadi aktivitas didalamnya, mulai dari menggunakan medium seperti dadu, hingga menjadi permainan kemungkinan (game of chance).

Dunia memang kompleks, namun terdapat kepastian dan keteraturan yang menentukan perilaku unsur di dalamnya. Dalam dunia sains, kedua pandangan ini mewakili pandangan kehendak bebas (free will) dan determinisme.


Sumber :

https://dindapranata.com/2018/03/14/tulip-mania-dan-krisis-pertama-belanda/

https://www.frindosonfinance.com/2017/12/04/gelembung-bunga-tulip/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gelembung_dot-com

https://glints.com/id/lowongan/tulip-mania-adalah/#.YLxQ1fkzbIU

https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20201117142957-33-202447/awas-bubble-economy-monkey-business-mahalnya-tanaman-hias

https://www.wartaekonomi.co.id/read342064/apa-itu-cryptocurrency-bubble?page=all

https://kumparan.com/claudio-faldo-m/spekulasi-bitcoin-tulipmania-dan-tuhan-yang-bermain-dadu-1vmlYUYrCMJ/full

https://www.thecanadianencyclopedia.ca/en/article/financial-bubbles-in-canada

No comments:

Post a Comment

Related Posts