Thursday, September 19, 2019

Latte Effect

Salah satu kebutuhan sekunder manusia adalah gaya hidup atau lifestyle yang menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam beraksi dan berinteraksi. Para marketer banyak yang paham hal ini dan dimanfaatkan oleh market.

Kebiasaan yang menjadi tren saat ini, salah satunya adalah melepas penat sambil ngobrol ringan di coffee cafe. Duduk sambil menikmati waktu luang di cafe kopi dengan secangkir kopi sangatlah mengasyikkan.

Kebiasaan ini disebut dengan latte effect. Istilah Starbucks Effect terkadang digunakan juga di Amerika Serikat, yaitu kebiasaan meminum kopi di kedai-kedai seperti Starbucks melahirkan dan menjadi sebuah istilah ekonomi.


Latte effect juga digunakan di dunia keuangan menjadi istilah tentang keborosan yang biasanya dilakukan oleh kelompok kelas menengah ini. Sebuah study di Amerika mereka menghabiskan uang rata-rata sebesar US$ 3 setiap hari untuk membeli secangkir kopi.

Sehingga Latte effect bisa didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang melakukan pengeluaran misalnya ngopi di cafe atau pengeluaran untuk cemilan yang dilakukan hampir setiap hari. Latte effect terkadang berdampak bukan hanya sekedar tidak mampu menabung, tapi hingga ada yang terjerat beban hutang.

Latte factor ini tidak hanya berwujud kopi, bisa macam-macam, mulai dari biaya membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, hingga biaya transfer antar bank. Setiap orang memiliki latte factor-nya masing-masing.

Sebuah istilah tentang keborosan kelompok kelas menengah Amerika yang menghabiskan uangnya rata-rata sebesar US$ 3 setiap hari hanya untuk membeli secangkir kopi ketimbang menabung. Semestinya dana US$ 3 tersebut dapat diinvestasikan dan bisa sebagai jaminan masa pensiun.

Hitungan sederhana, seharusnya sebulan bisa hemat US$ 90 dan setahun US$ 1.080. Sehingga akan menjadi besar jika angka tersebut bisa diungkit (leverage) misalnya dengan asumsi dengan imbal hasil 8% selama 10 tahun.

Sedangkan sebuah survei internal yang dilakukan Bank Permata menunjukkan 9 dari 10 orang menggelontorkan lebih dari Rp900 ribu untuk latte factor setiap bulannya. Pengeluaran latte factor terbesar adalah pada kebutuhan sandang yang sekunder, seperti lipstik, sepatu dan baju—hanya untuk menambah koleksi, tas, syal, aksesori, dan lainnya. Angkanya mencapai 58 persen.

Pengeluaran terbesar kedua tercatat pada taksi atau transportasi online yang mencapai 15 persen. Ini adalah jenis pengeluaran yang bisa dihemat jika menggunakan kendaraan umum massa seperti kereta atau bus.

Lalu ada biaya membeli makanan dan minuman ringan yang mencapai 11 persen. Sementara untuk kopi setiap pagi menghabiskan 9 persen dari total pengeluaran latte factor masing-masing responden. Ada pula biaya untuk membeli air mineral, rokok, hingga biaya administrasi bank.

Menarik untuk diulas lebih lanjut. Untuk lebih mendalam terdapat sebuah buku yang mengulas tuntas hal tersebut, yaitu The Latte Factor: Why You Don't Have to Be Rich to Live Rich.

You are richer than you think! Learn my three secrets to financial freedom. The Latte Factor, a fast, easy read reveals how anyone—from millennials to baby boomers—can still make their dreams come true.

bersambung.....


Sumber :
https://www.thelattefactor.com/
https://datapolis.id/the-latte-effect/
https://krjogja.com/web/news/read/23521/Latte_Effect
https://kauadalahkata.wordpress.com/2011/05/19/the-latte-effect-2/
https://tirto.id/latte-factor-pengeluaran-kecil-yang-membuat-bokek-cilW

No comments:

Post a Comment

Related Posts